Pages

Biarkan Aku Sejenak Merindumu

Untuk pertama aku berucap
Dengarkah kamu?
Tahukah kamu?
Tentang apa yang terdalam
Maafkan aku
Terlalu letih aku berdiri
Tahukah arti peluh ini?
Mengertikah lelah ini?
Jauh aku melangkahkan
Maafkan aku yang lancang
Tak ingin sebenarnya merajut rasa
Tapi tak guna pula aku tak acuh
Karena di sini acuh
Maafkan aku yang lancang
Tapi biarkan aku sejenak merindumu
Merindumu hingga aku tak lagi merindumu
Maafkan aku yang bodoh
Tapi biarkan aku sejenak mengerti rinduku
Mengerti hingga aku tak lagi mengerti rindu padamu
Maafkan aku yang membisu
Tapi biarkan aku sejenak berkata rindu padamu
Berkata hingga rinduku membisu
Maafkan aku yang tuli
Tapi biarkan aku sejenak mendengar hati yang merindumu
Mendengarkan hingga aku tak lagi mendengar hatiku merindumu
Maafkan aku yang buta
Tapi biarkan aku sejenak melihat rupa rindu padamu
Hingga silau itu membutakanku lagi
Maafkan aku yang lumpuh
Tapi biarkan aku sejenak menghampirimu
Menghampirimu hingga aku tak sanggup menghampiri rindu
Maafkan aku yang dulu bangkit karenamu
Maafkan aku yang dulu mencintaimu
Maafkan aku yang dulu menerima kekuranganmu
Maafkan aku yang dulu menerima kelebihanmu
Maafkan aku yang membuatmu bersedih
Maafkan aku yang berkata rindu
Maafkan aku
Tapi biarkan aku sejenak merindumu
Lalu aku akan pergi

-Menolak Pagi

Kali ini kau duduk merenungi janji
Hujan bulan ini membuatmu berfikir
Adakah rahasia yang masih disembunyikan
Oleh batang air yang merobek angin?
Adakah janji yang masih ditunggu
Dijemput kereta kuda dan disangga ke udara?














Pagi itu kamu melenguh,
Mencemaskan hujan bulan mei
Menghantui setiap kesempatan
Yang dikudeta tiba-tiba

Pagi itu kamu mengeluh,
Pada dingin hujan mei
Membayangi setiap rencana
Yang dihalau tiba-tiba

Pagi itu kamu menolak pagi,
Menelungkupkan lagi selimut
Mengungkung tubuh yang gemetar.

“Aku ingin melupakan, rahasia, janji, dan rencana yang terkaburkan!”

@yuardwi,2011

Menunggu datang

Apa yang kamu lakukan ketika duniamu membeku sepi,
Menggambar matahari kemudian duduk menunggunya menghangatkan diri?
Membanting segelas kopi yang susah payah kau seduh, demi menyisakan suara retakan ini?
Berlari menghajar udara demi suara deru angin yang kocar-kacir mencari arah lagi?
Atau diam saja, menunggu keajaiban menjemputmu, memanggil namamu?