Pages

Senandung Lirihku

Hanya sebuah senandung kecil
Tak lebih keras dari sebuah bisikan
Aku bersenandung lirih
Lirih hingga tak terdengar

Aku ingin senandung ini kau tahu
Tentang nyanyian yang mungkin belum kau tahu
Aku di sini bersenandung
Aku ini adalah hati

Tahukah kamu
Jika kau pikir aku tak cinta, untuk apa aku merindu
Merindu hingga aku menggigil ingin bertemu
Jika kau pikir aku sayang, untuk apa aku memikirkanmu
Menghampirimu dan menggenggam erat tanganmu
Seakan aku tak ingin kehilanganmu

Tapi cukuplah itu senandungku
Yang sangat lirih
Maafkan aku yang tak terucap

Sepasang Lilin (Cerita untuk Laki-laki biasa)

Pernah kau berkejar-kejaran dengan angin?
Kemudian terguling dalam tawa syahdu,
'bahwa kau tak mendapatkan apa-apa'
Tapi kamu bahagia...

Seolah tak percaya, 
Matahari sudah memejamkan mata
Semenjak lilin-lilin ini menyala,
Kau tahu, matahari itu... Indah luar biasa, tapi aku tak perlu memilikinya

Dedaunan yang gemerisik menyulam suara menjadi begitu syahdu menyandra kegelisahan.
Maka aku tenang berada di bawahnya,
Mendengarkanya bercerita,
Tanpa perlu aku ikut dalam lakonnya...

Aku akan tetap ada, mendengar, melihat, merasa, bercerita..
Bukan padamu. Tetapi pada lilin-lilin yang akan menghantarkannya kepadamu.
 Biarkan saja sepasang lilin ini tetap terjaga,
ditepatku. ditempatmu.
menemani kopi-kopi kita.
Jangan pernah pertemukan lilin-lilin ini,
Menjadi sebab yang bertemu akibat.
Biar saja mereka tetap menyala.
Di samping gelas-gelas kita.

Untuk Sang Putri

Aku ini hanya rakyat jelata
Hanya orang biasa saja
Yang selalu menunduk dan menunduk
Dan kadang membungkuk

Aku ini hanya rakyat jelata
Yang hanya bisa melihat sang putri dari jauh
Terhalang rasa rendah diri
Dan kilau pakaian kerajaan

Aku hanya rakyat jelata
Hanya orang biasa saja
Bahkan tempat berteduh pun tak ada
Itu bukan milikku

Tuan Putri tahukah kamu
Aku takut dan cemas
Aku takut saat aku menyayangimu
Dan aku takut saat aku merindukanmu

Secangkir Udara

Dia yang terabaikan
Hanya udara saja
Ya, hanya udara saja
Dan maaf
Aku hanya membiarkan cangkir itu kosong
Hanya penuh dengan udara
Bukan kopi yang dulu sering kita minum

Tergeletak di meja
Terpantul pita kaca
Maaf kotak kopi ini berdebu
Karena kopi yang tak terseduh

Kini kuseduh secangkir kopi untukmu
Bukan lagi udara saja
Untuk secangkir kopi lagi selanjutnya
Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya
Mari menikmati kopi lagi
:)

Pita Kaca

Pita kaca
Kulihat matamu berubah warna
Menjadi sepi kata-kata
Dimana emas yang dulu pernah kita timbang bersama?

Warna-warna
Pelangi memburam dimakan senja
Menjadi diam suara-suara
Dimana Matahari yang pernah kita lukis bersama?

Langit senja,
Selimutku terlalu tipis untuk menghalau udara.
Dingin yang berkecamuk dalam ruang-ruang hampa,
Sedangkan kita hanya bisa berbicara melalui kotak kaca,
Dan pita suara. Diam tak punya nada.

Puisi jiwa?
Sudah sampai disinikah teriakanmu pada semesta?
Liukan yang merendah dan hilang tiba-tiba.
Disana!
Atau disana?
Cahaya yang ditimpa nestapa karena kepedihan dan tawa tak pernah sempat tersampaikan.
Karena setiap detik hanya kita tukar pada rayuan keletihan dan tidak pernah sampai pada penghayatan.
Disana!
Atau disana?
Waktuku, waktumu!
Waktu yang disita musim empat warna.

Aku juga sama.

Sementara kopi kita menunggu diatas meja.
Menjadi dingin kemudian.
Menjadi dingin sendirian.

Maukah kau menghangatkannya lagi?
Untukku.

Laut

Kawanku, kuceritakan kepadamu tentang laut disini.

Tak akan ada yang kamu tunggu, matahari gilang gemilang tak mau pergi dari pagi hingga senja ini. Tak pernah ada mendung kawan!


Langit adalah carut marut lukisan warna-warni, melebihi pelangi. Biru yang menjulang, putih transparan, mengombak dan gerombolan, kuning keemasan, emas kemerahan, jingga.. oh jingga. Jangan tanya mengapa banyak warna disana. Ini laut, udara, langit, dan matahari yang menjalin persekongkolan : keindahan. 


Bau udara kawanku, buanglah segala wewangian di dalam almarimu. Wangi disini sungguh berbeda, bentangkan tangan, mata pejam, hirup ia dalam-dalam... Kebebasan.. ya, bau kebebasan...
Tak ada yang akan kamu risaukan, Inilah pelukan alam. Peluk kehangatan dalam gigil dunia masa lalu yang dingin dan sunyi.


Ombak. Haha... kamu pasti tidak percaya jika kukatakan tidak ada ombak disini... Disini hanyalah ada sapuan kecil yang lembut mendorong dan menarik pasir ke pelukan laut. Hanya sampai beberapa sentimeter kemudian ia memuntahkan kembali, estafetkan pasir ke pelukan pantai. Kadang aku tertawa sendiri, mengapa memberikan jika untuk diambil kembali?


- ah bukan diberikan, tetapi dipinjamkan... seperti diri kita.-  


Kerang-kerang berpelukan pada pasir hitam legam dan gemilang karena mutiara yang memantulkan sinar. Disini seperti disergap kerinduan, tapi ogah mengejar.


Kapal-kapal, Puluhan orang berduyun mengorbit pada kerangka kayu raksasa, mereka masukkan kulit kayu pada sela-sela papan kapal, mengukur bentuknya dan pada suatu pagi ketika laut sedang pasang, seluruh warga kampung akan berduyun berdoa di sekeliling kapal, mendorong paksa kapal raksasa yang sudah bertahun digembleng tukang, upacara turun laut!


Disini tidak ada yang perlu ditunggu, ketika malam. Matahari telah memecah sinarnya mencadi bintang-bingtang. Tumpah ruah, dekat dan megah. Seakan hanya sejengkal saja jarak ubun-ubun dengan kerlap-kerlip itu. Benar-benar sindiran yang hebat bagi laut. 


Dan saat pagi, jangan tanya lagi. Batupun kedinginan dan kerang kebingungan mengapa aku keluar pada dingin yang kejam, hanya demi melayarkan perahu kertas yang berisi satu pesan : .....



Biarkan Aku Sejenak Merindumu

Untuk pertama aku berucap
Dengarkah kamu?
Tahukah kamu?
Tentang apa yang terdalam
Maafkan aku
Terlalu letih aku berdiri
Tahukah arti peluh ini?
Mengertikah lelah ini?
Jauh aku melangkahkan
Maafkan aku yang lancang
Tak ingin sebenarnya merajut rasa
Tapi tak guna pula aku tak acuh
Karena di sini acuh
Maafkan aku yang lancang
Tapi biarkan aku sejenak merindumu
Merindumu hingga aku tak lagi merindumu
Maafkan aku yang bodoh
Tapi biarkan aku sejenak mengerti rinduku
Mengerti hingga aku tak lagi mengerti rindu padamu
Maafkan aku yang membisu
Tapi biarkan aku sejenak berkata rindu padamu
Berkata hingga rinduku membisu
Maafkan aku yang tuli
Tapi biarkan aku sejenak mendengar hati yang merindumu
Mendengarkan hingga aku tak lagi mendengar hatiku merindumu
Maafkan aku yang buta
Tapi biarkan aku sejenak melihat rupa rindu padamu
Hingga silau itu membutakanku lagi
Maafkan aku yang lumpuh
Tapi biarkan aku sejenak menghampirimu
Menghampirimu hingga aku tak sanggup menghampiri rindu
Maafkan aku yang dulu bangkit karenamu
Maafkan aku yang dulu mencintaimu
Maafkan aku yang dulu menerima kekuranganmu
Maafkan aku yang dulu menerima kelebihanmu
Maafkan aku yang membuatmu bersedih
Maafkan aku yang berkata rindu
Maafkan aku
Tapi biarkan aku sejenak merindumu
Lalu aku akan pergi

-Menolak Pagi

Kali ini kau duduk merenungi janji
Hujan bulan ini membuatmu berfikir
Adakah rahasia yang masih disembunyikan
Oleh batang air yang merobek angin?
Adakah janji yang masih ditunggu
Dijemput kereta kuda dan disangga ke udara?














Pagi itu kamu melenguh,
Mencemaskan hujan bulan mei
Menghantui setiap kesempatan
Yang dikudeta tiba-tiba

Pagi itu kamu mengeluh,
Pada dingin hujan mei
Membayangi setiap rencana
Yang dihalau tiba-tiba

Pagi itu kamu menolak pagi,
Menelungkupkan lagi selimut
Mengungkung tubuh yang gemetar.

“Aku ingin melupakan, rahasia, janji, dan rencana yang terkaburkan!”

@yuardwi,2011

Menunggu datang

Apa yang kamu lakukan ketika duniamu membeku sepi,
Menggambar matahari kemudian duduk menunggunya menghangatkan diri?
Membanting segelas kopi yang susah payah kau seduh, demi menyisakan suara retakan ini?
Berlari menghajar udara demi suara deru angin yang kocar-kacir mencari arah lagi?
Atau diam saja, menunggu keajaiban menjemputmu, memanggil namamu?  

Muara

Bagai seluruh keajaiban yang hilang,
Raut dunia merubah sisi-sisi cahaya yang menyelinap
Penantian,
Apa yang akan dilakukan ketika kehilangan semakin nyata
Dan untuk pertama kalinya,
Air mata tiba pada muaranya.

Hujan basah
Rumah-rumah semakin dingin menghadapi kegigilan yang gelisah
Melengkungkan tangkai pohon-pohon lemah

Jalan menjadi gelap menggenangi kensunyian
Ketakutan mejadi semakin rapat mendekap
Malam,
Inilah tempat paling tepat untuk menyembunyikan kerapuhan.

Aku akan berhenti bertanya,
Mengapa daun gugur, menyerah pada udara yang bergerak
Mengapa cahaya hilang dihabisi ketakutan
Mengapa pejalan kaki sering kehilangan arah kembali
Mengapa teriakan berhenti pada isakan

Aku duduk berpayung malam,
Tempat paling aman menyembunyikan kerapuhan
Dan untuk pertama kalinya,
Air mata tiba pada muaranya.

GALAU

katakan pada malammu betapa kau merindu
katakan pada pagimu mengapa engkau cemburu
katakan pada hatimu betapa kau mencinta
katakan pada sunyimu bahwa kau masih terngiang luka

ragaku letih seletih hatiku
langkahku letih seletih nyanyiku
berserakan syair hatiku tanpa sisa
bertebaran racau batinku tanpa sirna

aku rindu senyummu
aku sembunyikan tawaku
membisu hatiku kelu lidahku
semua tampak bagai batu, diam berdebu

aku simpan tawaku,rinduku,cintaku dan senyummu
simpan dan jangan kau lenyapkan
aku di sini menunggumu
seulas senyum di bibirku
tapi aku tak tahu hatiku

Bangkit? Berhenti?

Aku tidak akan berhenti
Meskipun aku juga tidak bisa berlari

Aku tidak akan mengeluh
Meskipun aku tidak akan bisa berhenti mengaduh

Kedua tangan ini telah terbuka,
Meskipun sekujur telapak penuh luka

Dada ini mulai bernafas seperti biasa,
Meskipun derit menyelinap dalam relungnya

Mau bicara apa?
Sudah aku telan semua kata-kata,
Berguyur dengan kepedihan dan kesenangan yang au campur aduk sesukaku.

Mau lakukan apa?
Sudah aku binasakan semua rencana,
Berkalung benar-salah yang aku susun bergantian sesukaku

Mau apa?
Aku lelah sebenarnya...

MENEPI DI SUDUT

Entahlah

Tapi sepertinya berbeda ku rasa

Tak jenuh menatap

Saat pertama



Dalam tulisan singkat

Sapaku dalam maya dirimu

Tersenyum tanpa terikat

Seperti prolog saja



Rasaku berkata senyummu

Bias tak menentu

Seperti terbalut sendu

Melihat mendung dalam cerahmu



Inginku hanya secuil cerah
Terlukis bibirmu
Berimu serpihan bahagia
Dalam logikaku

Aku bukan pelucu
Tapi kuingin tawamu 
Aku bukan kebahagiaan
 Tapi kuingin hatimu tersenyum

Tak kuingin marahmu
Dalam hadirkan senyummu

Seperti bunglon
Untuk hadirkan senyummu
Agar menjaga hatimu, menjaga rasamu
Sampai aku tak tahu lagi 

Kini telah selesai
Dan aku menepi di sudut
Tak ingin senyummu pergi
Karena aku tahu
Ini akan berujung

Jaga selalu senyum itu
Disini aku menepi di sudut
Tak ingin melihat lagi mendung
Di dirimu dan hatimu
Di bahagiamu saat ini

ILALANG

aku terpana pada ilalang
merunduk malu tertiup angin
melambai terombang ambing
mengajakku menari angin

hanya terduduk saja
lamunanku menjagaku 
terbias dalam rimbun
ikut tertiup

aku ini ilalang
sesuka hati aku menari
dalam hujan, badai atau dalam hangatnya matahari
aku tak peduli

aku ini ilalang
rimbun dalam imajinasi
tinggiku menggapai langit
menutupi padang

YU

hanya sebatas mata
dalam lama berbatas tembok tua
terduduk di kursi
menatap kotak di dalam kotak

senyum dalam anganku
hanya sebatas tembok saja
ternyata. .
dan tak ku kira

kamu di sampingku, aku di sampingmu
beradu punggung
tak menyapa, tak berbicara
karena kita tak tahu

aku hanya tahu dalam mata
sebatas pandangan
dalam lama berbatas tembok tua
menatap kotak di dalam kotak

PUISI 2 KOTA

aku disini
jauh mencari sekeping asa
di sudut ruang terdekap dalam hening
berbicara dalam maya

kamu di sana
dan tak berbeda
terduduk dalam kotak
berbicara dalam maya

selembar syair malammu
dalam dingin angin menggelitik logika
bersama jiwa merangkai sajak
sajak malam teruntuk syair 

ah, malamku ramai dengan sajak
aku hangat dalam syair
beralas bait-bait tergelar
selembar syair dua kota

Pertama

Waktu dan lagu-lagu yang berlalu
searah tapak jalan yang menjadi biru bahasamu
searah sungai kata yang menjadi jingga nuansamu
searah tangkai nada yang menjadi orkestra tarianmu
searah kedipan mata yang menjadi nyala hidupanmu
kita akan bertemu, untuk pertama.